Banyak Kasus Kekerasan, Pemkot Batu Rumuskan Pembaruan Perda Perlindungan Perempuan dan Anak

Perda Perlindungan Perempuan Batu
Ilustrasi Anak-anak di Kota Batu sedang bermain. Foto: Tugusatu/Dafa Wahyu Pratama

Tugusatu.com- Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Kota Batu, Pemerintah Kota Batu bersama DPRD Kota Batu sedang menggodok Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

Regulasi baru ini disusun untuk menggantikan Perda Kota Batu Nomor 2 Tahun 2013 yang dinilai tidak lagi relevan dengan kebutuhan dan kondisi sosial saat ini.

Wali Kota Batu, Nurochman, menyampaikan bahwa tren kasus kekerasan dalam beberapa tahun terakhir membutuhkan pembaruan kebijakan perlindungan.

Berdasarkan data P2TP2A Kota Batu yang tercatat dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMPONI), tahun 2020 tercatat 15 kasus, tahun 2021 meningkat menjadi 55 kasus, tahun 2022 sebanyak 32 kasus, tahun 2023 naik menjadi 65 kasus, kemudian tahun 2024 mencapai 84 kasus. Sementara hingga 31 Oktober 2025 tercatat ada 51 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Data tersebut patut menjadi perhatian serius pemerintah. Kita, SKPD dan legislatif perlu membangun kerja bersama secara masif melalui kegiatan yang meminimalisir persoalan melalui anggaran yang tersedia. Kita perlu bersungguh-sungguh melaksanakan kegiatan yang berguna untuk membangun karakter anak muda,” ujarnya saat rapat paripurna, Kamis (13/11/2025).

Nurochman menegaskan, penguatan dasar hukum sangat penting untuk memastikan perlindungan yang efektif bagi korban serta memberikan kepastian dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

Menurutnya, Perda Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Batu Tahun 2013 perlu diganti karena tidak lagi sesuai perkembangan regulasi maupun kebutuhan masyarakat.

Baca juga: Tim Pembina Posyandu Kota Malang Mitra Strategis Program RT Berkelas

Kajian pendukung juga memperlihatkan sejumlah kendala implementasi Perda Kota Batu Nomor 2 Tahun 2013. Berdasarkan penelitian Moch Ardhika Farmansyah dari Fakultas Hukum Unisma, hambatan tersebut terbagi menjadi faktor internal dan eksternal.

“Dari sisi internal, belum  adanya  tim  yang berkompetensi  di  bidang  kode  etik,  karena  mereka  lebih berkompetensi  di  bidang profesinya.  Sehingga  masih  banyak  pelanggaran-pelanggaran  kode  etik  atau  keluar  dari garis SOP yang seharusnya dilakukan oleh tim pendamping dilanggar,” tulisnya dalam jurnal penelitian tersebut.

Sedangkan untuk faktor eksternal muncul dari minimnya pemahaman masyarakat terhadap keberadaan P2TP2A. Banyak warga masih menganggap isu kekerasan sebagai sesuatu yang tabu sehingga enggan melapor, padahal Perda Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Batu telah menegaskan kerahasiaan identitas korban.

Dalam Raperda baru, struktur pengaturan terdiri dari sembilan bab dan 30 pasal. Ruang lingkup materi meliputi pemenuhan hak korban, kewajiban dan tanggung jawab berbagai pihak, mekanisme penyelenggaraan pelindungan, partisipasi masyarakat, pembinaan dan pengawasan, sistem informasi serta pelaporan, hingga pendanaan.

Nurochman menjelaskan bahwa tujuan rancangan regulasi tersebut adalah memastikan hak perempuan dan anak terpenuhi, mencegah serta melindungi mereka dari kekerasan, mendorong keterlibatan masyarakat dalam upaya pencegahan dan pelindungan, serta memulihkan korban dari dampak kekerasan.

Gabungan fraksi-fraksi DPRD Kota Batu juga memberikan catatan terhadap Raperda tersebut. Amirah Ghaida Dayanara menyampaikan beberapa poin penting dalam pandangan umum fraksi.

Fraksi menekankan perlunya kepastian perlindungan bagi korban, termasuk pendampingan hukum, layanan psikologis, medis, hingga rehabilitasi.

Mereka juga mendorong penguatan sistem layanan terpadu, dengan menempatkan P2TP2A sebagai pusat layanan yang mampu merespons cepat setiap laporan kekerasan.

Amirah menjelaskan bahwa pencegahan harus dilakukan secara menyeluruh melalui edukasi, sosialisasi, dan kampanye publik di lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat.

Fraksi juga menyoroti pentingnya optimalisasi sistem pelaporan seperti SIMFONI PPA untuk meningkatkan akuntabilitas dan manajemen kasus.

“Perlindungan perempuan dan anak tidak akan berjalan tanpa dukungan anggaran yang memadai. Karena itu, fraksi mendorong pemerintah memberikan perhatian khusus pada alokasi anggaran untuk layanan korban,” ujarnya.