Tugusatu.com- Tiga kampung tematik di Kota Malang, Jawa Timur, merayakan mauludan sebagai wujud melestarikan tradisi dengan sukacita dan penuh makna filosofi. Ketiga kampung itu, yaitu Kampung Budaya Polowijen, Kampung Grabah Penanggungan, dan Kampung Gribig Religi.
Penggagas Kampung Budaya Polowijen Malang, Isa Wahyudi akrab disapa Ki Demang menyatakan perayaan maulid atau Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan ruang sosial dan kultural di mana masyarakat mengekspresikan syukur, doa, dan kebersamaan. Semua itu menyatu di ritual keagamaan dalam tradisi Jawa.
“Di banyak kampung dan desa, tradisi maulidan menjadi sarana mempertemukan agama dengan budaya, menghadirkan simbol-simbol yang sarat makna sekaligus memperkuat ikatan sosial,” tegas Ki Demang, Sabtu (6/9).
Ki Demang mengungkapkan perayaan di Kampung Budaya Polowijen mengusung spirit harmoni simbol dan filosofi. Sajian yang dihadirkan meliputi buang ajang (makanan di piring gerabah atau layah), bubur sumsum, tumpeng buceng dari ketan dan kelapa, tumpeng buah, hingga sego gurih iwak ingkung.
“Setiap hidangan memiliki makna filosofis yang mendalam. Ajang layah menegaskan kesederhanaan dan akar kehidupan manusia yang kembali ke tanah,” katanya.
Di Kampung Grabah Penanggungan mengusung semangat Ritual Pecah Ajang. Makna simbolis dari tradisi pecah ajang layah dari gerabah yang diisi makanan lalu dipecah bersama-sama itu simbol membuang bala dan membuka jalan hidup baru.
“Pecahnya wadah bukan berarti pecah kebersamaan, justru sebaliknya, karena setelah doa dan makan bersama, warga semakin rukun. Ini cara kami menjaga identitas kampung sekaligus melestarikan warisan nenek moyang,” ucap Ketua Kampung Grabah Penanggungan, Hariyono.
Adapun di Kampung Gribig Religi menghadirkan Bubur Sumsum untuk Peziarah. Usai berdoa, masyarakat membagikan bubur sumsum dan tumpeng sego gurih kepada para peziarah. Sajian ini memiliki makna mendalam sebagai wujud jamuan spiritual, yakni bubur sumsum sebagai lambang kesucian, sementara tumpeng nasi gurih menandai doa syukur dan keselamatan.
Ketua Pokdarwis Kampung Gribig Religi Devi Nurhadyanto menekankan sisi religius dan solidaritas sosial dalam tradisi bubur sumsum dan tumpeng sego gurih.
“Setiap maulidan, kami membuat bubur sumsum dan tumpeng nasi gurih untuk dibagikan kepada peziarah. Ini bukan hanya sedekah makanan, tetapi sedekah rasa dan doa. Tradisi ini mengajarkan bahwa berkah itu semakin besar ketika dibagi, dan peziarah pulang tidak hanya membawa kenyang, tapi juga membawa berkah doa,” tuturnya.
Sumber: Forkom Pokdarwis Kota Malang