Keselamatan yang Terabaikan di Pembangunan Tower Panjat Tebing Polkesma

Dr. Ganif Djuwadi, Dosen Polkesma Kemenkes Malang. Foto: Dok. Pribadi
Dr. Ganif Djuwadi, Dosen Polkesma Kemenkes Malang. Foto: Dok. Pribadi

Oleh: Dr. Ganif Djuwadi
– Dosen Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang (Polkesma).
– Koordinator Forum Koordinasi Potensi Pencarian dan Pertolongan (FKP3) Malang Raya.

Pembangunan tower panjat tebing di Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang (Polkesma) sebenarnya menjadi kabar baik, sebuah fasilitas baru untuk olahraga prestasi panjat tebing, dan pengembangan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Olahraga mahasiswa. Namun, di balik semangat pembangunan itu, ada kenyataan lain yang jauh lebih memprihatinkan. Pengamatan di lapangan, proses pengerjaan konstruksi memperlihatkan wajah kelam dari praktik yang seharusnya tidak terjadi di institusi pendidikan kesehatan yang memiliki Program S.Tr K3; pengabaian keselamatan kerja.

Beberapa waktu lalu, saya menyaksikan langsung pekerja yang memanjat struktur tower tanpa alat pelindung diri (APS) sama sekali. Tidak ada full body harness, tidak ada helm, bahkan tidak ada lanyard atau tali pengaman yang seharusnya menjadi nyawa kedua bagi pekerja di ketinggian. Mereka naik-turun rangka besi dengan tangan kosong, seperti memanjat batang pohon. Pemandangan itu bukan hanya mencemaskan, tetapi juga menyedihkan, terlebih karena proyek ini berada di lingkungan kampus yang selama ini mengajarkan pentingnya keselamatan.

Yang lebih mengejutkan, pekerja-pekerja ini ternyata tidak memiliki lisensi atau sertifikat kompetensi sebagai tenaga kerja bangunan tinggi. Padahal, bekerja di ketinggian bukan sekadar soal keberanian. Ada ilmu, prosedur, dan standar yang harus dipenuhi. Tanpa sertifikat, mereka secara hukum tidak memenuhi syarat untuk melakukan pekerjaan berisiko tinggi tersebut. Bahkan, ada yang melakukan pekerjaan pengelasan tanpa lisensi welder. Semua ini adalah kombinasi berbahaya yang bisa berakhir fatal.

Padahal, aturan sangat jelas tertera pada Permenaker 08/2010 tentang APD dan Permenaker 9/2016 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Pekerjaan pada Ketinggian. Setiap pekerja yang terlibat dalam pekerjaan di ketinggian wajib memiliki pelatihan khusus, memahami penggunaan APD, dan menguasai teknik penyelamatan diri. Tetapi kenyataan di lapangan berbicara lain. Pekerja tetap dibiarkan bekerja tanpa perlindungan, seakan-akan keselamatan hanyalah formalitas di atas kertas.

Jika kita menilai menggunakan hierarki pengendalian risiko, pelanggaran ini terjadi di semua level. Tidak ada eliminasi risiko, pekerjaan tetap dilanjutkan meski pekerja tidak kompeten. Tidak ada substitusi metode kerja yang lebih aman. Rekayasa teknis seperti lifeline tidak tersedia. Pengendalian administratif seperti SOP, briefing, dan izin kerja tidak dijalankan. Bahkan lapisan paling dasar, APD bekerja di ketinggian pun diabaikan sepenuhnya. Ini bukan sekadar kelalaian; ini kegagalan sistemik.

Pihak kontraktor atau PT rekanan jelas memiliki kewajiban untuk memastikan seluruh pekerjanya kompeten, bersertifikat, dan dilengkapi APD. Mereka pula yang bertanggung jawab mengawasi setiap pekerjaan dan menjamin lingkungan kerja aman. Namun dari apa yang terlihat, kewajiban itu seolah hanya menjadi tanda tangan di kontrak, tidak benar-benar diterapkan.

Polkesma sebagai pemberi kerja juga tidak bisa lepas tangan. Memilih kontraktor bukan berarti selesai. Ada kewajiban moral dan hukum untuk memastikan pekerjaan berjalan sesuai prinsip K3. Ironis rasanya ketika kampus kesehatan yang memiliki Program Studi Sarjana Terapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, yang mengajarkan keselamatan, justru tidak responsif dengan praktik konstruksi yang jauh dari kata aman.

Teguran sebenarnya sudah diberikan. Pihak berwenang di kampus, Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur, telah memperingatkan bahwa pekerja tidak boleh melanjutkan pekerjaan tanpa APD. Tetapi setelah teguran itu, nyatanya keadaan tetap sama. Pekerja tetap memanjat tanpa perlindungan. Tidak ada perubahan berarti. Tidak ada tindakan tegas dari pihak kontraktor karena pekerja tetap tidak menggunakan APD standar di ketinggian. Seolah-olah, teguran hanya menjadi angin lalu,  dan pekerjaan tetap berjalan dengan unsafe condition yang sama.

Situasi ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan rendahnya komitmen terhadap keselamatan. Padahal, satu kesalahan kecil saja bisa membuat seorang pekerja jatuh dari ketinggian 8–10 meter. Resikonya bukan lagi cedera ringan, tetapi patah tulang belakang, trauma kepala berat, bahkan kematian.

Tower panjat tebing memang harus dibangun. Tetapi membiarkan pembangunan berjalan dengan risiko setinggi ini bukanlah pilihan yang bertanggung jawab. Keselamatan seharusnya menjadi prioritas utama, bukan pelengkap. Sebab, fasilitas boleh ditunda, tetapi nyawa manusia tidak bisa diulang.

Mengabaikan keselamatan dalam proyek ini bukan hanya mencoreng nama kontraktor. Lebih dari itu, ia mencoreng nilai-nilai yang selama ini dijunjung oleh Polkesma. Jika keselamatan terus diabaikan, maka pembangunan ini bukan lagi tentang kemajuan, tetapi tentang kelalaian yang berpotensi menelan korban.

Tower panjat tebing boleh menjulang tinggi, tetapi komitmen terhadap keselamatan seharusnya berdiri lebih tinggi dari itu. Semoga semua pihak membuka mata bahwa pembangunan tidak pernah boleh berjalan dengan mempertaruhkan nyawa. Tanpa perubahan nyata, kita hanya menunggu waktu sampai sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Penulis: Dr. Ganif DjuwadiEditor: Bagus Suryo