Tugusatu.com, MALANG—Perdebatan mengenai apakah seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) wanita dapat menjabat sebagai penghulu kini menjadi perhatian publik.
Pertanyaan ini muncul seiring dengan kebijakan baru yang sedang dibahas oleh pemerintah dan lembaga terkait mengenai peran gender dalam posisi-posisi strategis di sektor publik.
Pada awal 2000-an, ada sedikit harapan mengenai seorang ASN wanita menjabat menjadi kepala KUA pada mengacu Keputusan Menteri Agama (KMA) No 477 Tahun 2004.
KMA ini memberikan pernyataan bahwa kepala KUA tidak lagi berfungsi sebagai penghulu atau wali hakim. Akan tetapi, harapan tersebut tidak berlansung lama karena telah lahir PMA No 40 Tahun 2005 mengenai wali hakim.
Pada intinya, PMA ini menyatakan bahwa menetapkan kembali kepala KUA menjadi seorang wali hakim, yang akhirnya menutup kesempatan ASN wanita untuk menjabat di kedudukan tertinggi di bawa kewenangan Kementerian Agama yaitu Kantor Urusan Agama (KUA)
Namun, dalam Undang-Undang tentang kepenghuluan, tidak ada ketentuan spesifik yang menyebutkan bahwa jabatan penghulu harus diisi oleh laki-laki.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, yang dalam Pasal 1 Ayat (5) menjelaskan bahwa penghulu adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak penuh oleh Menteri Agama untuk menjalankan pelayanan nikah/rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat Islam.
Dengan ketentuan ini, tampak jelas bahwa jabatan penghulu dapat diisi oleh baik laki-laki maupun wanita.
Yang menjadi permasalahannya dari aspek keagamaan, apakah boleh seorang wanita melaksanakan tugas-tugas penghulu?
Salah satu tantangan yang mungkin muncul jika penghulu dipegang oleh seorang perempuan adalah adanya sebagian wali nikah yang masih menyerahkan hak kewaliannya kepada penghulu.
Dalam perspektif Islam, hanya laki-laki yang diizinkan untuk mewakili hak kewalian tersebut. Namun, masalah ini dapat diatasi dengan solusi melalui pendekatan sosial dan kebijakan institusional yang tepat.
Ada dua langkah yang dapat diambil. Untuk menghadapai tradisi masyarakat yang masih menyerahkan hak walinya kepada penghulu. Pertama, perlu diberikan penjelasan kepada mereka tentang pentingnya peran mereka sendiri dalam melaksanakan akad nikah.
Mereka dapat diberikan pelatihan agar siap menjalankan tugas tersebut. Jika mereka tetap memilih untuk mewakilkan kewaliannya kepada penghulu, langkah kedua adalah melakukan identifikasi terhadap wali nikah yang akan melaksanakan akad nikah sendiri.
Dalam kasus ini, penghulu perempuan dapat diinstruksikan untuk hadir sebagai saksi dalam proses akad nikah tersebut
Penulis” Andhena Wisnu Wardana
Editor: Anam
Sumber: KUA Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, PMA No. 20 TAHUN 2019