Tugusatu.com, MALANG—Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) membekali para dai, daiyah dan penyuluh agama dari seluruh Indonesia tentang literasi keagaman lintas budaya, bekerja sama dengan Leimana Institute dan Templeton Religion Trust, yang diikuti 38 peserta secara daring.
Direktur Eksekutif Leimena Institute, Matius Ho, mengatakan literasi keagamaan lintas budaya merupakan wujud inisiatif dan best practice pendekatan pendidikan dari Indonesia. Utamanya untuk mengatasi masalah intoleransi dan membangun relasi lebih baik antar penganut agama yang berbeda.
“Dalam waktu kurang dari 2,5 tahun, Leimena Institute telah menggandeng 25 lembaga mitra untuk melatih lebih dari 7.000 pendidik di 34 provinsi di Indonesia tentang literasi keagamaan dan lintas budaya ini,” katanya dalam kegiatan tersebut beberapa waktu lalu.
Adapun program ini bertujuan untuk menguatkan eksistensi dan kolaborasi damai antar-agama di Indonesia dengan mengenalkan literasi keagamaan lintas budaya bagi guru dan penyuluh agama.
Ada tiga kompetensi yang dikembangkan dalam kegiatan ini, yakni kompetensi pribadi, kompetensi komparatif, dan kompetensi kolaboratif. Kompetensi pribadi merujuk pada kemampuan memahami diri sendiri dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan Anda dengan orang lain.
Kompetensi komparatif merujuk pada kemampuan memahami orang lain sebagaimana dia memahami dirinya sendiri dan nilai-nilai yang memandu keterlibatan mereka dengan dirinya.
Sementara kompetensi kolaboratif merujuk pada kemampuan dalam memahami konteksi potensi kolaborasi di antara aktor-aktor yang berbeda keyakinan.
Dalam konteks Indonesia, menurut Nurbani Yusuf, dosen senior Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan UMM, kekerasan dan konflik yang disebabkan oleh perbedaan masih kerab terjadi.
Bahkan, data menunjukkan, sebanyak 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama terjadi di Indonesia selama 2020. Menyikapi hal tersebut, peserta diajak untuk kembali pada ajaran Islam.
“Kita harus menyadari bahwa Islam itu sumber damai dan nirkekerasan. Itu bisa kita lihat misalnya pada Q.Q. Al-Maidah ayat 32, Q.S. Al-Baqarah Ayat 256 dan Ayat 62, serta keteladanan yang telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW,” katanya.
Penanganan konflik agama, kata dia, dapat diatasi melalui pendekatan bina-damai (peacebuilding), jaga-damai (peacekeeping), dan cipta-damai (peacemaking).
Bina damai yaitu membangun rasa percaya untuk mengurangi mispersepsi dan stereotipe berkaitan dengan hal mendasar untuk memutus rantai penyebab konflik dan kekerasan.
“Sementara itu, jaga-damai berkaitan dengan penggunaan instrument negara seperti militer dan cipta-damai berkaitan dengan aksi nyata dan komitmen menolak kekerasan langsung atau structural dalam format apa pun,” kata founder komunitas Padang Makhsyar ini.
Prof. Abdulkadir Rahardjanto, dari Leimena Institute dalam paparannya mengatakan toleransi sosial keagamaan menjadi kunci dalam mengatasi konflik ini. Konsep harmoni sosial-keagamaan mencakup kerjasama lintas agama, hidup berdampingan secara damai, dan kebebasan beragama. Implementasinya terwujud dalam pembelajaran multikultural yang mengajarkan keberagaman, memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap budaya dana agama, serta meningkatkan kepekaan terhadap perbedaan.
“Yang tidak kalah penting, kurikulum harus mengintegrasikan keragaman budaya, agama, dan kehidupan sosial dalam pembelajaran. Kegiatan ekstrakurikuler juga mengakaomodasi dialog antar agama dan pertukaran budaya,” ucapnya.
Reporter: Bagus Suryo