Tugusatu.com- Sajian perayaan maulud Nabi Muhammad SAW di kampung tematik Kota Malang, Jawa Timur, menghadirkan hidangan penuh makna filosofi sekaligus memperkuat ikatan sosial dan pemersatu bangsa. Berikut sajian makanan wujud menyatunya harmonisasi tradisi Jawa dalam ritual yang khidmat.
Di Kampung Budaya Polowijen mengusung spirit harmoni simbol dan filosofi, Jumat (5/9). Di kampung itu menghadirkan hidangan buang ajang, makanan di piring gerabah atau layah. Termasuk bubur sumsum dan tumpeng buceng dari ketan, kelapa, tumpeng buah, hingga sego gurih iwak ingkung.
Penggagas Kampung Budaya Polowijen, Isa Wahyudi akrab disapa Ki Demang menyatakan ajang layah bermakna kesederhanaan. Juga melambangkan akar kehidupan manusia yang kembali ke tanah. Adapun bubur sumsum melambangkan kesucian hati dan manisnya doa.
Tumpeng buceng menghadirkan simbol kerukunan dan kelekatan sosial, dan tumpeng buah menegaskan keberkahan alam. Sedangkan sego gurih dengan lauk ingkung ayam, lambang kepasrahan total kepada Tuhan.
“Semua sajian merekatkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta sekaligus mempererat solidaritas sosial antarwarga,” katanya.
Ki Demang menegaskan tradisi mauludan membawa pesan moral selain memperkuat rasa syukur dan kebersamaan. Hal ini menjadi ruang edukasi bagi generasi muda semakin cinta pada budaya Jawa yang lestari sepanjang zaman.
Perayaan mauludan di Kampung Grabah Penanggungan menghadirkan ritual Pecah Ajang. Hidangan dalam ritual ini menonjolkan tradisi buang ajang dengan cara yang khas. Makanan dengan lauk-pauk berada dalam wadah layah gerabah. Usai berdoa, warga menikmati hidangan dengan cara memecah gerabah sebagai wadah makanan secara rentak.
“Ajang layah dari gerabah yang diisi makanan lalu dipecah bersama-sama itu simbol membuang bala dan membuka jalan hidup baru. Pecahnya wadah bukan berarti pecah kebersamaan, justru sebaliknya, karena setelah doa dan makan bersama, warga semakin rukun. Ini cara kami menjaga identitas kampung sekaligus melestarikan warisan nenek moyang,” ujar Ketua Kampung Grabah Penanggungan, Hariyono.
Sedangkan mauludan di Kampung Gribig Religi menghadirkan bubur sumsum dan tumpeng sego (nasi) gurih untuk peziarah. Jamuan spiritual ini penuh makna filosofi. Bubur sumsum sebagai lambang kesucian, dan tumpeng nasi gurih menandai doa syukur dan keselamatan.
Ketua Pokdarwis Kampung Gribig Religi, Devi Nurhadyanto mengungkapkan rutin setiap mauludan membagikan bubur sumsum dan nasi gurih kepada peziarah.
“Ini bukan hanya sedekah makanan, tetapi sedekah rasa dan doa. Tradisi ini mengajarkan bahwa berkah itu semakin besar ketika dibagi, dan peziarah pulang tidak hanya membawa kenyang, tapi juga membawa berkah doa,” tuturnya.
Perayaan mauludan di kampung tematik Kota Malang menjadi ruang sosial dan kultural yang menyatukan harmonisasi tradisi Jawa dan ritual keagamaan penuh makna filosofi. Masyarakat mengekspresikan syukur, doa, dan kebersamaan berimbas memperkuat ikatan sosial.
Sumber: Forkom Pokdarwis Kota Malang