Tugusatu.com, MALANG – Tradisi megengan menjelang puasa merupakan tradisi lama masyarakat Jawa yang masih ada dan lestari hingga kini.
Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang, Rakai Hino Jaleswangi, mengatakan megengan diambil dari bahasa Jawa, yakni ‘mèkèk’ berarti ‘ngempet’ atau menahan. Adapun kata ‘puasa’ berasal dari penggabungan dua suku kata ‘upa’ dan ‘vasa’.
“Ini merujuk pada perilaku atau tradisi puasa masyarakat Nusantara terdahulu yang mayoritas menganut Hindu-Budha,” ujarnya, Minggu (10/3/2024).
Ia menjelaskan ‘upa’ bermakna dekat dan ‘vasa’ berarti Yang Maha Agung sehingga ‘upavasa’ memiliki arti mendekatkan diri ke Yang Maha Kuasa.
Jadi, megengan menyambut puasa tetap lestari sampai sekarang meski merupakan tradisi lama maayarakat Jawa.
Sedangkan nyadran yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah sadran, menurut sejarawan alumni Universitas Negeri Malang itu, berasal dari bahasa Sanskerta “Sraddha” yang artinya keyakinan.
Masyarakat Jawa mengenal tradisi nyadran merupakan suatu budaya mendoakan leluhur yang sudah meninggal. Seiring berjalannya waktu mengalami proses perkembangan budaya sehingga menjadi adat dan tradisi yang memuat berbagai macam seni budaya.
Di Kampung Budaya Polowijen, kata Ki Demang, para budayawan di Malang itu biasa nyadran ke makam Mbah Reni. Prosesi selalu di kemas dalam bentuk arak-arakan Topeng Malang dan setelah itu anak-anak menari topeng sebagai salah satu simbolisasi pelestarian topeng Malang.
Tradisi yang masih kuat dan lestari di Kampung Budaya Polowijen, salah satunya adalah Megengan dan Nyadran. Selain itu umbul donga (baca doa) dan nyekar ke makam Empu Topeng Ki Tjandro Suwono (Mbah Reni). Di KBP, selalu ada arak-arakan topeng dan penampilan tari tarian setelah nyadran.
Sedangkan megengan di KBP Sabtu (9/3/2024) sore, dihadiri dari berbagai komunitas di antaranya Tim Ahli Cagar Budaya Kota Malang, Kampung Gadang Wiswakala, Perempuan Bersanggul Nusantara, Komunitas Mocopat Kota Batu, SMP Wahid Hasyim Singosari, perwakilan Kampung Tematik Kota Malang, murid dan wali murid KBP serta Warga KBP sendiri.
Lebih dari 100 orang khidmat mengikuti umbul dongo yang dipimpin langsung Ki Demang Penggagas Kampung Budaya Polowijen.
Acara diawali dengan mocopatan oleh Ki Lelono. Di atas panggung sayap barat dipenuhi perempuan bersanggul dan berkebaya warna putih dan sayap timur komunitas berbusana serba hitam-hitam.
Megengan di KBP menurut Ki Demang, pria yang bernama asli Isa Wahyudi, warga merayakannya dengan membagikan makanan ke tetangga atau di bawa ke musala. Tapi di KBP, masing-masing warga membawa makanan, apem dan pisang untuk selanjutnya dikumpulkan.
Setelah itu tukar menu makanan untuk di bawa pulang. Sebelumnya warga juga ikut arak-arakan nyadran ke makam. Nyadran pada bulan Jawa Ruwah bermakna pada meruwat dan merawat arwah-arwah para seniman dan budayawan topeng malang yang jiwa dan ruhnya masih bisa dirasakan pada generasi topeng saat ini.
Editor: Choirul Anam
Sumber: Rilis Kampung Budaya Polowijen