Tugusatu.com, MALANG– Aliansi Masyarakat Sipil di Malang, Jawa Timur, mendeklarasikan penolakan Rancangan Undang Undang (RUU) Penyiaran. Deklarasi diikuti sekitar 50-an orang di Maliki Plaza, Kota Malang.
Mereka yang menilai RUU Penyiaran mengancam demokrasi, yaitu jurnalis, akademisi, mahasiswa, kreator konten dan pegiat antikorupsi.
“Indonesia memasuki autocratic legalism. Autocratic legalism, menggunakan hukum untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis,” tegas pembicara yang juga dosen hukum Universitas Islam Malang, M. Fachrudin, Kamis (30/5).
Menurut Fachrudin hal itu dibuktikan dengan banyak produk peraturan perundang-undangan dibuat untuk kepentingan penguasa, bukan untuk kepentingan rakyat.
Bahkan, RUU Penyiaran tidak melibatkan partisipasi publik. Putusan Mahkamah Agung, lanjutnya, harus melibatkan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan atau meaningful participation.
Sebelumnya, Badan Legislatif (Baleg) DPR mengembalikan RUU Penyiaran kepada Komisi I DPR. RUU Penyiaran menimbulkan kontroversi, tak hanya larangan jurnalistik investigasi dan tumpang tindih dengan kewenangan Dewan Pers dalam menangani sengketa pers.
Keberagaman konten dihapus, yang berpotensi menimbulkan praktik oligopoli media siaran. RUU Penyiaran juga menyasar platform digital siaran. Kreator konten juga diawasi, setiap konten harus lulus kelayakan siaran yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dosen komunikasi UM Dr. Akhirul Aminullah mengatakan, revisi UU Penyiaran ini bisa jadi sebagai konsekuensi perkembangan teknologi. Namun, pelarangan penayangan investigasi bertentangan dengan pilar demokrasi dan fungsi kontrol sosial. Justru, hal itu lebih tepat disebut pembungkaman, seperti yang dilakukan rezim Suharto di zaman Order Baru.
Misalnya Pasal 50B Ayat 2 yang mengatur pelarangan jurnalisme investigasi yang ikut membongkar kejahatan, disebut berlebihan. Menurutnya, tak semestinya kekuasaan pemerintah mengatur dan mengontrol penyiaran.
Selain itu, di Pasal 8A Ayat (1) ada tumpang tindih kewenangan KPI dengan Dewan Pers. Ketika ada sengketa isi siaran bukanlah KPI yang bertindak.
“UU Pers fungsinya diserahkan kepada Dewan Pers. Harus dibedakan kewenangan KPI dengan Dewan Pers. Apalagi kalau keanggotaan KPI dan Dewan Pers dipilih konstituen, ini kan seperti pasal karet,” ujar Irul.
Dalam RUU penyiaran, juga ada larangan menayangkan isi mistik, dan horor, yang termasuk kreativitas seni. Skenario akan jadi hal yang aneh tanpa kreativitas seni, sama seperti penayangan merokok, mafia tidak merokok dan minum alkohol.
Hal itu diakui Sudjane Kenken, Sineas Nasional yang turut hadir. Menurutnya, ada dampak negatif yang dirasakan kalangan pekerja kreatif sepertinya jika RUU itu disahkan.
“Jika RUU dijalankan, tidak menguntungkan, bukan hanya bagi kami. Platform YouTube dan OTT wadah kreator audio visual. Instagram, Tiktok dan sebagainya,” ujar Kenken.
Pakar Hukum Tata Negara, Anwar Cengkeng menyoroti tidak dilibatkannya masyarakat sipil dalam RUU Penyiaran ini. Apalagi revisi UU ini mengancam kebebasan pers dan masyarakat dalam berpendapat.
“Ketika reformasi lahir UU Pers. Filosofi ini menjawab kebutuhan rakyat untuk dipenuhi haknya mendapat informasi. Pers informasi untuk rakyat, kembali ke rakyat. RUU Penyiaran banyak yang bertentangan dengan UU Pers mulai pembentukan UU-nya. MK 91/2022 membentuk UU harus libatkan masyarakat,” katanya.
Sumber: Siaran Pers AJI MALANG
Editor: Bagus Suryo
ISSN 3063-2145