Tugusatu.com, MALANG- Asosiasi Perajin Batik Kota Malang, Jawa Timur, menggelar Talkshow Batik Malang mengusung tema Shibori Bukan Batik?. Di Batik Tulis Celaket, perajin mengulas perbatikan, Minggu (5/5).
Acara itu menghadirkan narasumber owner Batik dari Sukun, Nur Zanah dan owner Batik Niati dari Bunul, Kusniati. Kedua pembicara menjelaskan perbedaan antara batik dan Shibori.
“Sekalipun menggunakan pewarna alami dan sintetis, jelas Shibori itu bukan batik,” tegas Nur Zanah.
Menurut Nur, Shibori yang sudah jadi bisa disebut sebagai karya batik ketika prosesnya melalui tahapan mencanting menggunakan bahan malam panas dan pewarna.
Shibori merupakan teknik atau seni pewarnaan kain dari Jepang. Proses pembuatannya dengan cara mencelupkan kain yang telah dilipat atau diikat ke dalam pewarna. Lalu menghasilkan pola tertentu yang unik. Biasanya, hasil Shibori itu menyembur semburat warnanya seperti sinar tak beraturan.
Kendati demikian, batik khas Indonesia tetap menjadi primadona nasional dan dunia. Batik kian populer sampai mancanegara setelah UNESCO menetapkan batik sebagai warisan budaya Indonesia.
Bahkan, perkembangan wastra atau kain tradisional semakin banyak di minati berbagai kalangan. Seperti tenun, songket, kain ikat termasuk batik yang khas, unik dan mengandung nilai seni. Semua itu mengusung spirit upaya pelestarian tradisi.
Karya batik melalui proses ikhtiar yang serius. Para pecanting menggunakan malam untuk pewarnaan pada selembar kain. Perpaduan warna, desain dan lukisan menghasilkan karya yang eksotis dan filosofis. Hal itulah yang membuat batik kian diminati selain bernilai seni juga menjadi kebanggaan pemakainya.
Riwayat batik sudah ada sejak Kerajaan Majapahit, bahkan berusia lebih tua. Batik nusantara memiliki motif beragam sesuai karakter dan budaya daerah. Kini, batik sudah menjadi industri kreatif. Semua daerah hampir merata mengembangkan batik untuk melestarikan seni dan budaya di antaranya Solo, Yogyakarta, Pekalongan, dan Kota Malang.
Terus meningkatnya permintaan membuat UMKM batik kian tumbuh. Batik pun sudah menjadi tren sampai akhirnya mendongkrak ekonomi kreatif berimbas kesejahteraan masyarakat.
“Masalahnya, ragam macam praktik wastra dan dunia kain itu memang perlu di pertegas, yakni batik ya batik, shibori ya shibori. Begitu juga ecoprint ya ecoprint. Masyarakat perlu edukasi dan literasi agar bisa membedakan karena menyangkut soal kualitas dan hasil karya,” ujarnya.
Owner Batik Niati dari Bunul, Kusniati mengungkapkan pernah menemukan kasus pelatihan Shibori tapi praktiknya tidak ada proses membatik.
“Kita banyak menjumpai pelatihan di kelurahan, komunitas, instansi bahkan di tempat pembatik sendiri yang terkadang menggunakan nama ini (Batik Shibori),” ungkapnya.
Dalam konteks ini, Kusniati berusaha meluruskan. Ia getol mengedukasi masyarakat agar memahami beda batik dan shibori.
Sementara itu, Owner Batik Tulis Hanan Jalil mendorong perajin terus berkarya. Batik yang sudah mendunia harus diperkuat agar manfaatnya luas sebagai penumbuh perekonomian.
“Teruslah membatik karena ini melestarikan tradisi nenek moyang kita, jangan lupa sambil berkreasi tanpa batas dan jangan takut dengan persaingan usaha. Semakin banyak pembatik, makin terkenal batik kita batik Malang,” ucap Hanan.
Asosiasi Perajin Batik Kota Malang memfasilitasi Talkshow Batik Malang. Pesertanya sebanyak 30 owner batik tulis di Kota Malang. Mereka hadir sekaligus mengapresiasi kegiatan ini.
Sumber: Asosiasi Perajin Batik Kota Malang
Editor: Bagus Suryo