UB gandeng NUS Digitalisasi Warisan Kebudayaan Kota Malang

Mahasiswa UB dan NUS mendatangi Toko Kopi Panca  di Pasar Oro-Oro Dowo dalam rangka digitalisasi warisan kebudayaan Kota Malang. Ist
Mahasiswa UB dan NUS mendatangi Toko Kopi Panca  di Pasar Oro-Oro Dowo dalam rangka digitalisasi warisan kebudayaan Kota Malang. Ist

Tugusatu.com, MALANG—Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya (UB) menjalin kerja sama dengan National University of Singapore (NUS) untuk mendigitalisasi Kajoetangan Heritage sebagai warisan kebudayaan di Kota Malang.

Dekan FIB UB, Hamamah, menegaskan proyek kerja sama ini melibatkan dosen dan mahasiswa dari kedua universitas. Mereka akan berkolaborasi selama dua tahun ke depan untuk mengintegrasikan teknologi ke dalam upaya pelestarian budaya Kota Malang. Proyek kerjasama ini terbentuk untuk mewujudkan humaniora digital (Digital Humanities) UB Indonesia dan NUS Singapura selama 2 tahun oleh dosen dan mahasiswa.

“Kami, FIB UB, sedang berupaya mengembangkan digital humanities dan belajar dari universitas-universitas lain di kancah internasional merupakan salah satu langkah awal yang kami ambil. Kami menginisiasi kolaborasi ini tahun lalu, lokakarya hari ini menandai dimulainya kerja sama antara FIB UB dan NUS,” jelasnya, Senin (24/6/2024).

Dosen dan Peneliti Bbidang Digital Humanities dari NUS, Miguel Escobar Varela, berterima kasih kepada FIB UB.

“Harapan saya sebenarnya sama dengan FIB UB yaitu membangun jaringan dengan universitas di luar negeri, di mana pun. Pada intinya, kami bercita-cita membangun sinergi di masa depan, bagaimana digital humanities digunakan di ranah budaya. Maturnuwun sanget,” ujarnya.

Dia menjelaskan bahwa autentisitas adalah sesuatu yang subyektif dan banyak dipengaruhi oleh faktor budaya dan sejarah. Bahkan, beberapa pendapat menyatakan bahwa konsep autentisitas adalah konstruksi Barat dan tidak berlaku secara universal.

Terkadang, menginginkan autentisitas menyebabkan menghambat evolusi budaya yang terjadi secara alami. Maka, preservasi budaya dengan cara yang terlalu kaku dapat membatasi kemampuan masyarakat untuk membuat berbagai bentuk adaptasi.

Redy Eko Prastyo, penulis buku “Intelektual Kampung: Manifestasi Sinergitas Kampung Lingkar Kampus”, musisi kontemporer, dan inisiator Kampung Budaya Cempluk, sebagai narasumber mengenai budaya Kota Malang menjelaskan mengenai sejarah terbentuknya Kota Malang yang turut mempengaruhi berbagai kebudayaan di dalamnya.

Beberapa di antaranya adalah bagaimana Malang menjadi kota pertemuan karena lokasinya yang strategis, di mana hal tersebut membuat Malang menjadi kota yang dipenuhi dengan berbagai subkultur dan komunitas.

Esoknya, para mahasiswa mulai terjun untuk melihat secara langsung bagaimana kehidupan masyarakat Malang dan apa yang bisa digali lebih dalam. Studi lapangan ini merupakan Langkah awal Dokumentasi Budaya Malang kerjasama UB dan NUS untuk mengumpulkan data asli dari masyarakat Malang.

Destinasi pertama yang mereka kunjungi adalah Pasar Rakyat Oro-Oro Dowo. Pasar yang dibangun pada tahun 1932 ini merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi di Kota Malang. Upaya revitalisasi yang telah dilakukan oleh pemerintah tidak mengubah esensi dan fungsi dari pasar ini. Beberapa kios pun masih diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Salah satu yang menarik perhatian para mahasiswa adalah Toko Kopi Panca. Kios kecil dengan interior yang sederhana ini menjual berbagai jenis biji dan bubuk kopi. Di belakang kios, mereka menyediakan meja kecil dan kursi bagi pengunjung yang ingin menikmati kopi secara langsung. Tempat ini menjadi titik awal eksplorasi mengenai budaya kopi di Kota Malang.

Mereka melanjutkan observasi di kedai kopi tidak jauh dari sana, Toko Kopi Kongca. Kedai yang berlokasi di Jl. Trunojoyo ini mengusung konsep kopitiam klasik. Desain interior dan daftar menu kedai ini terinspirasi dari kopitiam di Singapura. Lagi-lagi, kedai kopi ini menjadi temuan yang menarik baik bagi mahasiswa UB, mahasiswa NUS, maupun dosen dari kedua universitas.

Pengamatan untuk proyek kerja sama tidak berhenti sampai di sini. Eksplorasi kembali dilaksanakan pada Jumat (7/6/2024). Kali ini, Toko Kopi Sido Mulia menjadi tujuan. Toko kopi ini bukan sekadar toko kopi biasa. Didirikan pada 1952, toko kopi ini merupakan salah satu pemasok kopi tertua di Kota Malang. Pemilik menanam sendiri biji kopi mereka di perkebunan keluarga dan melayani pembelian biji kopi dari puluhan kedai dan kafe.

Setelah puas mengamati Toko Kopi Sido Mulia, para mahasiswa mengunjungi beberapa tempat minum kopi lainnya untuk berbincang dengan para pemilik dan karyawan. Mahasiswa NUS, khususnya, ingin mendapatkan pengalaman lebih banyak mengenai ragam komunitas dan budaya yang dapat ditemui di kedai kopi. Tempat yang dikunjungi antara lain Rumah Akasha, Klodjen Djaja, Pipir Lepen, dan Warung Tenang.

Salah satu lokasi yang juga menjadi pusat budaya minum kopi adalah area Kajoetangan. Area ini memiliki deretan kedai kopi, baik yang telah lama berdiri maupun yang baru dirintis. Area Kajoetangan menjadi pemberhentian terakhir dari para mahasiswa dalam misi awal pengenalan terhadap budaya minum kopi di Kota Malang.

Kolaborasi yang berlanjut selama dua tahun ke depan ini diharapkan tidak hanya akan menghasilkan dokumentasi yang berharga dari Kajoetangan Heritage, tetapi juga menjadi model bagaimana akademisi dapat berkontribusi dalam pelestarian budaya melalui teknologi.

Dengan adanya proyek ini, FIB UB tidak hanya memperkuat posisinya sebagai pusat keunggulan dalam bidang digital humanities, tetapi juga sebagai pelopor dalam menjembatani antara tradisi dan inovasi untuk keberlanjutan budaya. Harapannya, sinergi ini akan terus berlanjut dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat, baik di Malang maupun di komunitas internasional yang lebih luas.

Sumber: UB

Editor/Reporter: N-1/Bagus Suryo