Tugusatu.com- Forum Moderasi Beragama memperkuat pluralisme yang senantiasa mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan. Kegiatan itu di Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Brawijaya, Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (19/9).
Pada kesempatan itu, mengemuka pentingnya peran mahasiswa sebagai agent of change. Mahasiswa diharapkan turut berperan aktif dalam menanggulangi diskriminasi dan membangun ruang aman (safe place) bagi keberagaman.
Hadir sebagai pemateri ialah Ketua Umum PMK Gamaliel UB 2025, Marcelo Kusuma Sanjaya dan Direktur Lembaga Analisis dan Otonomi Daerah, George Da Silva.
Marcelo menyoroti tiga isu utama yang kerap muncul dalam kehidupan beragama, yakni diskriminasi, eksklusivisme, dan pluralisme. Menurutnya, diskriminasi agama masih terjadi dalam bentuk pembatasan pembangunan rumah ibadah, kesulitan perizinan kegiatan keagamaan, hingga ketidakadilan dalam akses publik.
Untuk itu, ia mendorong strategi membangun toleransi melalui dialog antaragama, kegiatan kolaboratif lintas latar belakang, serta edukasi dan peningkatan kesadaran publik.
“Mahasiswa harus berperan sebagai pemimpin yang memberi contoh, sekaligus menciptakan safe place agar setiap orang dapat menjalankan aktivitas keagamaan secara aman dan nyaman, baik di kampus maupun masyarakat,” tegas Marcelo.
Kesadaran toleransi
Pemateri lainnya, Direktur Lembaga Analisis dan Otonomi Daerah, George Da Silva mengatakan kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak fundamental yang tidak boleh dipaksakan karena beragama sejatinya adalah pilihan hati nurani setiap individu.
“Setiap orang berhak menyatakan agama atau kepercayaannya dalam ibadah, praktik, maupun pengajaran. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memeluk agama tertentu, sebab hal itu akan menyalahi hati nurani,” tuturnya.
George menuturkan telah membangun kesadaran toleransi sejak dari keluarga. Menurutnya, kebebasan beragama di Indonesia telah dijamin oleh konstitusi, khususnya dalam Pasal 28 dan 29 UUD 1945. Namun, ia mengakui bahwa praktik toleransi masih menghadapi tantangan, terutama terkait diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perspektif seseorang dalam beragama banyak dipengaruhi latar belakang budaya, pendidikan, dan keyakinan masing-masing. Karena itu, ia menekankan pentingnya dialog antaragama, kegiatan kolaboratif, serta edukasi publik untuk memperkuat toleransi.
“Beragama bukan hanya soal doktrin, tapi juga moral dan etika. Keyakinan tanpa moral tidak akan membawa kebaikan. Karena itu, kita perlu membangun toleransi dengan dialog, kolaborasi, dan penyuluhan,” ujarnya.
George mendorong agar forum moderasi semakin meluas merambah berbagai perguruan tinggi. Dalam konteks ini, pelibatan mahasiswa di ruang-ruang dialog lintas agama sangat penting sebagai bekal membangun bangsa yang lebih harmonis.
Dalam Forum Moderasi Beragama di Universitas Brawijaya menyimpulkan bahwa eksklusivisme agama berpotensi menimbulkan intoleransi, sehingga sikap pluralisme yang mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan perlu terus diperkuat, terutama di lingkungan kampus sebagai representasi masyarakat.
Sebagai penutup kegiatan dilanjutkan dengan doa oleh perwakilan lintas agama sebagai simbol persatuan dalam keberagaman.