Tugusatu.com- Para pegiat literasi, mahasiswa dan dosen berkumpul di hari yang penuh semangat di Gedung B Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Jumat (31/10/2025). Mereka hadir turut memperkuat spirit sastra dan semangat budaya.
Hal itu sejalan dengan peluncuran dan bedah buku kumpulan cerita pendek karya Jihan Putri Zahara, mahasiswi Program Studi Sastra Cina. Karya yang mengesankan itu berjudul “Kenapa Lenteraku Merah, Bukan Putih?.”
Ada lima cerita berlatar budaya Tionghoa dengan judul, “Seperti Kesemek”, “Teh, Titik.”, “Kenapa Lenteraku Merah, Bukan Putih?”, “Dari Debu Jadi Cuan”, dan “Bukan Iklan Drama Tiongkok.” Semua karya Jihan tersebut diterbitkan oleh CV. HWC Group.
Suasana penuh apresiasi sastrawi menyelimuti gelaran yang membanggakan sekaligus penanda munculnya suara baru dalam dunia sastra lokal yang berani menjelajahi lintas budaya.
Hadir dalam acara itu, dua dosen pembimbing akademik, yaitu Diah Ayu Wulan dan dosen penguji Yusri Fajar, serta menghadirkan Yohanes Padmo Adi N, sebagai pembedah utama.
Dalam ulasannya, Padmo menilai Jihan berhasil menghadirkan kekuatan naratif yang jernih, dengan detail budaya yang hidup dan atmosfer oriental begitu kuat.
“Sampul bukunya saja sudah memikat, menampilkan nuansa China sore menjelang malam dengan rumah tradisional di tepi sungai, jembatan melengkung, dan satu lampion besar yang terbang. Tapi bukan hanya visualnya, karya ini memiliki kedalaman rasa dan pengamatan yang tajam, Ia tidak sekadar menulis cerita, tapi menghidupkan kembali nilai-nilai budaya yang berlapis,” jelas Padmo.
Yohanes Padmo menyoroti salah satu cerita berjudul “Teh, Titik.” sebagai contoh keberanian Jihan dalam menulis dari perspektif identitas yang bukan dirinya.
“Menarik sekali, Jihan menempatkan diri sebagai ‘Chindo’ keturunan Tionghoa Indonesia. Padahal dia bukan bagian dari komunitas itu. Ini bukti riset dan empati yang mendalam terhadap karakter,” ucap Padmo.
“Ia berani mengeksplorasi hubungan antarbudaya, dari tokoh ‘Aku’ hingga ‘Yohan’, dan itu menunjukkan kematangan dalam memahami perbedaan.” imbuhnya.
Dalam sesi tanya jawab, Jihan menceritakan proses panjang di balik penulisan kumpulan cerpen ini.
“Tantangan terbesar bagi saya adalah memahami budaya China yang belum familier. Saya bukan keturunan Tionghoa, jadi risetnya cukup kompleks, dari simbol, tradisi, hingga cara berpikir,” kata Jihan.
“Saya ingin setiap tokoh terasa hidup dan berbeda, tidak seragam,” tegasnya.
Adapun soal pemilihan judul, ia menjelaskan bahwa “Lentera merah” menjadi simbol utama dalam keseluruhan tema buku.
“Dalam budaya Tionghoa, warna merah melambangkan kehidupan dan harapan. Sementara putih sering diasosiasikan dengan duka. Saya ingin judul itu menjadi metafora tentang pilihan untuk tetap hidup dan percaya pada cahaya,” ucapnya.
Dosen pembimbing, Diah Ayu Wulan dan Yusri Fajar selaku penguji, menilai karya Jihan sebagai capaian penting bagi mahasiswa sastra di era digital yang sering menjauh dari buku fisik.
“Karya ini menunjukkan bahwa riset akademik bisa diterjemahkan menjadi karya sastra yang relevan dan menarik. Ini bentuk nyata sinergi antara ilmu dan kreativitas,” tegas Yusri Fajar.
“Semoga Jihan menjadi contoh bagi mahasiswa lain untuk menulis dengan keberanian dan sensitivitas lintas budaya.” tuturnya.
Sementara itu, Diah Ayu menilai keberanian Jihan menulis tema Tionghoa tanpa latar etnis tersebut sebagai upaya menjembatani empati lintas identitas.
“Jihan menunjukkan bahwa sastra mampu menembus sekat-sekat etnis dan bahasa. Inilah esensi kemanusiaan dalam sastra,” ujarnya.
Meski baru merilis karya pertamanya, Jihan mengaku belum berencana menulis buku baru dalam waktu dekat. Namun, ia tidak menutup kemungkinan untuk kembali berkarya di masa depan.
“Sejak kecil saya bercita-cita jadi penulis, tapi sempat hilang arah. Lewat buku ini, saya merasa kembali menemukan panggilan itu. Saya masih punya beberapa draf yang mungkin bisa dikembangkan nanti,” ungkapnya.
Sebagai penulis muda, Jihan menyebut dua sosok yang menjadi inspirasinya: J.K. Rowling dan Tere Liye, dua penulis populer yang menurutnya mampu menjembatani nilai universal dalam karya yang ringan tapi bermakna.
Buku “Kenapa Lenteraku Merah, Bukan Putih?” bukan sekadar karya akademik, melainkan penanda munculnya generasi baru penulis yang berani keluar dari zona nyaman.
“Sastra adalah lentera, kadang merah, kadang putih. Tapi selalu menjadi cahaya bagi mereka yang mau mencari makna,” tandas Yohanes Padmo menutup sesi bedah buku, disambut tepuk tangan meriah.
Melalui narasi-narasi lintas budaya, Jihan Putri Zahara membuktikan bahwa sastra masih menjadi ruang pertemuan antara riset, imajinasi, dan identitas.

									




