Tugusatu.com, MALANG—Fenomena mberot sering dilihat dari sering di-stigma negatif seperti dikaitkan dengan kericuhan dan minuman keras, meski sebenarnya dilam tersimpan nilai-nilai luhur yang justru bisa membentuk karakter anak-anak ya bantengan
Ketua Tim Peneliti Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH), Meilisa Tri Adinda Putri, mengatakan fenomena kesenian mberot di Malang Raya tengah menjadi sorotan.
“Popularitasnya kian meluas, tercatat ada sekitar 1.336 kelompok bantengan yang menaungi kesenian tersebut,” ujarnya, Kamis (25/9/2025).
Menurutnya, kesenian rakyat ini tidak hanya digemari masyarakat umum, tetapi juga diikuti oleh anak-anak usia sekolah dasar, generasi alpha.
Namun, kata dia, di balik maraknya pertunjukan, budaya mberot kerap dikaitkan dengan stigma negatif. Beberapa pentas justru berujung ricuh, adanya minuman keras, dan lainnya.
Kondisi inilah yang menggerakkan dirinya bersama temannya untuk untuk menginisiasi riset dalam skema Program Kreativitas Mahasiswa bidang Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH). Anggotanya, Febila Serlina Efendi, Fitriya Maharani, Ana Maulida Azura, dan Wiga Septiyan Vindiani ini bertajuk ‘Gayenge Malang: Kajian Pambudi Luhur Budaya Mberot Menggunakan Metode Gioia untuk Mitigasi Pergeseran Karakter Generasi Alpha di Wilayah Malang’.
“Selama ini mberot lebih sering dilihat dari sisi negatif, padahal di dalamnya tersimpan nilai-nilai luhur yang justru bisa membentuk karakter anak-anak,” ujar Meilisa.
Menurutnya, melalui pendekatan penelitian yang tepat, kesenian ini berpotensi menjadi media pendidikan karakter yang kontekstual sekaligus melestarikan budaya lokal.
Dalam riset tersebut, tim menggunakan metode Gioia, sebuah teknik analisis kualitatif yang memungkinkan peneliti menggali data secara mendalam. Observasi lapangan dilakukan di Kabupaten Malang, antara lain Desa Tajinan dan Kecamatan Turen, serta di Kota Malang dan Batu. Para peneliti mewawancarai pelaku mberot usia sekolah dasar, pemilik sanggar, guru, kepala sekolah, hingga penonton pertunjukan.
“Yang pertama dengan melibatkan adik-adik kita, yang paling utama adalah untuk memperkenalkan seperti apa sih kebudayaan kita yang utama ini, dengan harapan agar nanti kita tidak kehilangan budaya-budaya yang ada di Indonesia,” ujar pemilik sanggar mberot .
Keterangan pemilik sanggar juga didukung dengan pernyataan pemain mberot dan penonton mberot yang merasa bahwa budaya mberot ini memiliki nilai positif seperti membuat anak lebih suka berosialisasi, tidak kecanduan gadget, dan melatih motorik kasar mereka.
“Di tempat latihan, iya bareng-bareng. (ikut Mberot) Seru temannya banyak.” Ujar Reval, anak sekolah dasar di kota malang yang mengikuti kelompok budya mberot di daerahnya.
Hasil penelitian mengungkap, nilai-nilai pambudi luhur yang terkandung dalam budaya mberot mencakup tiga aspek utama: nilai moral etika, kearifan lokal, serta nilai religius spiritual.
Dari ketiganya, aspek moral etika dan kearifan lokal tampak lebih dominan. Temuan ini menjadi bukti bahwa mberot sesungguhnya tidak semata-mata soal atraksi fisik, melainkan ruang internalisasi nilai yang relevan bagi generasi muda.
Dosen Pembimbing Riset, Dyah Worowirastri Ekowati, menegaskan pentingnya reposisi makna mberot. Jika hanya menyoroti perilaku-perilaku negatif saat pertunjukan, maka mberot akan terus dicap negatif. Padahal, ada filosofi pambudi luhur yang bisa digali. Mahasiswa perlu hadir untuk mengembalikan esensi budaya ini sebagai sarana pendidikan karakter.
Melalui penelitian ini, tim berharap dapat menawarkan strategi mitigasi untuk mengurangi potensi penyimpangan nilai dalam praktik mberot. Salah satunya dengan merumuskan panduan berbasis nilai pambudi luhur yang dapat diterapkan di sanggar maupun sekolah dasar.
Strategi ini diharapkan mampu mengarahkan generasi alpha agar menjadikan mberot sebagai wadah pembelajaran moral, sosial, dan spiritual, alih-alih hanya tontonan hiburan yang rawan disalahgunakan.